Kutuliskan kisah ini untuk mengembalikan kenangan manis antara aku dan rasa.
Hari ini,
Tepat ketika berjuta waktu bergerak memutarbalikkan pagi,
Memindahkan siang pada masa sebelum hari ini
Menggeletakkan senja dalam kenangan yang dikemas rapih
Dan tak lupa menggantung bulan yang telentang di malam panjang
Aku berusaha memasang lagi kepingan detik yang kini hanya berupa potongan
Hari itu,
Keputusan samar datang dan berbisik padaku
Menyerahlah pada cinta yang begitu besar, katanya
Menyerahlah pada cinta yang akhirnya sia-sia tanpa sisa
Menyerahlah jika ia tidak kunjung menyerahkan cintanya
Menyerah sebelum nyawamu lemah
Menyerah sebelum kamu dinyatakan kalah
Mundurlah selangkah dan beberapa langkah lagi untuk menikmati pedih tanpa celah
Hari itu,
Aku tak tahu maknanya
Aku tak tahu artinya
Aku hanya menggangguk pada suara bisikan yang entah dari mana asalnya
Entah untuk apa tujuannya
Dan aku mengikutinya
Hari itu,
Aku berusaha melepaskan rasa yang tumbuh kuat dan menanamkannya ditempat yang berbeda
Rasa itu melemah
Ia tahu tempatnya bukan disana
Ia ingin kembali
Rasa itu membutuhkan cahaya matahari
Atau sekedar rasa segar yang diberikan beberapa tetes embun pagi
Sedangkan ditempatnya sekarang, yang ia dapat hanya gersang disana sini
Membuat rasa itu menunduk sendu
Aku tidak punya cukup cahaya matahari, aku malah tidak sengaja menumpahkan redup yang hampir padam dan berserakan
Aku tidak punya cukup air yang menetes pada pagi, aku malah menjatuhkan banyak embun yang meluncur diambang mata dengan nada pilu
Rasa, apakah kini kamu tersiksa?
Karena kamu aku paksa berada ditempat dengan suhu dan tanah yang berbeda
Tolong tunggulah sebentar
Kini satu-satunya usahaku menanam rasa adalah memupukkan benih kesabaran setiap detiknya
Memohon agar rasa bisa merasa dengan pekanya
Berharap agar rasa tidak jatuh pada batas kematiannya
Hari itu,
Hari itu tiba
Rasa yang kutanam ditempat berbeda tumbuh mekar seperti sebelumnya
Bahkan lebih lebat dari segala rasa yang pernah ku tanamkan dalam nyata
Rasa ini tumbuh kekar karena kesabaran yang tidak kenal lelah kutuangkan dalam potnya
Rasa ini menjadi dewasa
Rasa ini sudah tidak perlu berpura-pura mencinta
Rasa sudah bisa merasa
Rasa sudah bisa merasa cahaya matahari dan embun pagi di tempat yang berbeda
Rasa, bukankah kamu tumbuh dengan bahagia?
Ternyata tempat ini memberi kilau emas yang lebih pekat dari sebelumnya bukan?
Bukankah tempat ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan?
Rasa, kalau kamu yakin akan seperti ini selama masa tak kunjung menutup mata
Aku rela mempertahankanmu ditempat ini
Rasa, aku berjanji akan membiarkanmu disini
Aku berjanji tidak akan mencabut akarmu lagi untuk yang kedua kali
Aku berjanji tidak akan memotong kelopakmu yang kini tak terhitung jumlahnya
Aku berjanji tidak akan membiarkan rasa lain tumbuh lebih kekar daripada dirimu saat ini
Hari itu,
Cahaya matahari yang menyegarkan makin lama mendekat kemari
Tidak peduli ribuan peluh keringatku berserakan ditanah
Cahaya matahari kini makin jingga dengan semburat kuning keemasan yang berkilauan
Ragaku terasa terbakar
Cahaya matahari mencoba memberi rasa sebuah ketenangan dengan semakin mendekat dan tidak menyisakan jarak
Cahaya membuat beberapa helai rasa kering dan sebentar lagi mungkin hangus
Aku segera mendekap rasa erat
Jangan sampai rasa terbakar sampai ke akar
Biarlah aku yang tersiram panas cahaya ini
Biarlah kulitku tersengat oleh kejamnya lingkaran kehidupan ini
Tunggu rasa,
Cahaya matahari yang ingin melindungimu dan bahkan tidak rela meninggalkanmu itu sekarang terlihat menyilaukan bukan?
Bukankah sikapnya sedikit berlebihan?
Hari berikutnya,
Embun yang menetes diam-diam kini tidak segan untuk membanjiri
Tidak peduli kini ia sudah menelan seperempat dari tubuhku
Embun yang jatuh dengan serakah itu tidak membiarkan tempat tersisa untuk udara
Mereka mengisi bagian bumi dengan diri sendiri
Embun kini seperti air pasang dari lautan samudra
Airnya beku dan lebih dingin dari salju
Kini ragaku makin kaku
Rusuk-rusukku membatu seketika waktu
Rasa mulai menggigil hebat
Rasa terbujur lemas dan tidak berdaya
Aku segera mengangkat rasa tinggi-tinggi
Tidak peduli seluruh ragaku kini tercelup air embun yang membesar
Tidak peduli satu tarikan nafas yang berusaha kehilangan
Asal bukan rasaku
Asal bukan rasaku
Rasa, ambilah detik untuk sekadar berfikir
Bukankah sekarang ini embun merawatmu dengan sedikit berlebihan?
Padahal beberapa tetes saja sudah menyejukkan bukan?
Hari-hari-hari-hari-hari-hari berikutnya
Rasa, kamu lihat kini ragaku?
Terbakar jadi abu oleh cahaya yang terlalu menyilaukan
Dan membeku jadi batu oleh embun yang menenggelamkan
Rasa, ragaku benar-benar tidak perlu dijaga bukan?
Tugasku hanya untuk membatumu tumbuh lebih mekar lagi dan lagi tiap harinya
Tidak peduli seberapa sering raga ini luka-luka
Yang penting rasaku tetap terjaga
Aku ingin menjadi sosok yang tidak ingkar janji
Aku ingin kamu tetap disini
Ini keinginan terbesarmu bukan, rasa?
Menetap disini hingga kematian mengigitimu perlahan
Lagipula apa kau tahu? semua itu hanya alasan kecil jika dibandingkan dengan cintaku yang teramat besar
Jika tidak mana mungkin aku mempertahankannya walau raga sakit dimana-mana?
Rasa, aku benar-benar tidak peduli lagi dengan diri sendiri
Karena tahukan kamu?
Kamu adalah satu-satunya harapan dan impianku selama ini
Rasa. Tumbuh ditempat sempurna. Mekar dan berwarna. Kekal ditelan masa.
Hari yang lainnya,
Hari cepat sekali berganti
Rasaku kini tidak terkalahkan
Satu-satunya rasa terbesar dimuka bumi
Satu-satunya rasa yang paling mekar di antara semua rasa yang pernah dicicipi
Lihat keadaanku kini
Berbanding terbalik bukan dengan rasa yang kujaga?
Kenapa malaikat maut tak juga merangkulku?
Apa karena tampakku yang lebih buruk dari segala rupa di neraka?
Apa karena ragaku yang rusak karena terlalu banyak menjaga rasa?
Apa karena ia sudah merasa puas melihatku menderita di dunia?
Hari ini,
Hari ini tiba
Hari dimana aku menulis kisahku dengan rasa yang ku jaga untuk terakhir kalinya
Ini pasti detik dimana akan mengantarkanku pada mati yang sempurna
Aku tahu itu
Aku tahu malaikat pencabut nyawaku adalah sosok yang selalu ku bangga sepanjang usia
Rasa,
Kamu kini tumbuh mekar mencakar langit-langit senja
Menciptakan guratan luka pada awan yang berarak
Menumbuhkan helaian lebat yang menyesakkan rasa-rasa lain disekitarmu
Merubuhkan semua ranting tempat kamu dulu dibesarkan
Harum bungamu terlalu mencekat
Kumpulan lebah yang mendekat mati tanpa nafas bersekat
Rasa menatapku haru
“Aku mencintaimu”
Kalimat itu membulat diujung putik sarimu
Kalimat itu keluar begitu saja
Tentu saja
Aku tahu itu
Rasa juga akan selalu mencintaiku
Tapi aku rasa ini agak sedikit berlebihan
Makin lama rasa mendekat dan makin sesak nafas yang kubuat
Rasa mengucapkan terimakasih dan memelukku erat
Rasa membelit tubuhku dengan akar dan helaian daunnya
Rantingnya yang berduri menusuk-nusuk hingga darah mengalir deras kemana-mana
Aku tahu ia sedang memelukku, tapi apakah ia tidak menyadari aku ini hanya tinggal wujud ampas tanpa angan
Yang sekali disentuh akan hilang
Rasa, kamu mungkin sedikit berlebihan
1
2
3
Mati.
Matiku tiba
Aku mati rasa dan aku melihatmu merangkulku menuju dimensi lain, mungkin dunia yang berbeda
Rasa, malaikat mautku
Kini setelah mati aku belajar banyak dari kisah kehidupanku
Aku belajar begitu pentingnya mencintai dengan secukupnya
Dan begitu kejamnya mencintai dengan seutuhnya, segenap raga, seluruh jiwa, merela sebuah nyawa, mendamba sepenuh luka
Aku belajar
Aku belajar bahwa cinta sudah indah dengan setetes saja
Tidak perlu melimpah dan bertumpah ruah
Karena cinta yang berlebihan akan membawamu pada kepedihan yang menyesakkan
Karena jika kamu terlalu mencintai sesuatu yang menjadi keinginanmu ia akan menjadi sesuatu yang justru merangkulmu menuju jurang kematian
Karena jika kamu terlalu mencintai dengan berlebihan kamu akan selalu merasa kekurangan dan mencintai lebih dalam lagi lebih dalam lagi dan hingga kehidupan lelah menjadi batas diantara dunia angan dan nyatamu
Rasa,
Percayalah ilmu ini akan sangat berguna
Untuk generasi rasa berikutnya
Untuk generasi rasa yang banyak bercinta dengan porsi yang berlebihan
Rasa,
Hari ini aku belajar
Dan hari ini juga aku melupakan
Dan mungkin belajar melupakan
Karena untuk apa aku menyadari semua kesalahan yang tidak dapat lagi kuperbaiki
Ini sudah terlalu terlambat
Kehidupan sudah padam
Aku sudah ada di kematian dan baru belajar sedikit dari kehidupan
Itulah manusia
Bernapas tersengal-sengal oleh penyesalan
Rasa,
Terimakasih pernah mencinta dengan sempurna
Denganmu kujalani hidup sedikit lebih berwarna dari kelabu sebelumnya
--
Tengah malam menuju pagi,
Didimensi menuju ruang impi,
Tanggal dua puluh enam november dua ribu enam belas
-ANISA YULI CAHYANTI-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar