Kamis, 22 Februari 2018

CERPEN: Surat dari Seorang Tukang Pos

Surat dari Seorang Tukang Pos
( Oleh: Anisa Yulicahyanti )

Seorang tukang pos lalu-lalang didepan rumahmu. Sirat matanya bermandikan cahaya keresahan mendalam. Amplop dengan perangko bunga teratai hampir diremuk tangannya yang geram. Lalu ketika akhirnya si tukang pos itu mengetuk-ngetuk pintu dengan telapak tangan yang hampir putus, dirimu membuka pintu sambil membuang tanaman kaktus yang akhir-akhir ini sering muncul dalam rumahmu ke tempat sampah. Lalu kau menemukan suratku yang berlumuran darah digenggaman si tukang pos. Darah segar itu terus menetes dan kau menyadari bahwa darah itu berasal dari tangan si tukang pos yang terbakar entah karena apa.
“ Kau terluka? “ dirimu bertanya untuk sekadar basa-basi pada orang baru yang tangannya hampir putus. Sedangkan si tukang pos hampir menumpahkan cairan tawa yang ada dalam perutnya.
“ Jelas, surat ini sangat menusukku “
Kau bertanya-tanya apa gerangan yang dapat dilakukan oleh sepucuk surat hingga si tukang pos terluka dengan daging yang mencuat dan baunya seperti daging rusa yang di masak istrinya pada malam natal ( walaupun kau tidak merayakan ). Sekilas kau mendapati orang dihadapanmu itu mirip dengan seseorang entah siapa dan kau samar-samar mengingatnya. Lalu kau mulai mengkhawatirkan lelaki berseragam biru muda dengan logo burung merpati di sebelah kanan kantung bajunya, mempersilahkan si tukang pos masuk ke rumahmu, dan menawarkan berbagai ramuan herbal yang dapat diracik istrimu untuk mengobati lukanya. Itu ciri khasmu dari dulu. Selalu mengkhawatirkan seseorang yang bahkan kau bahkan belum mengenalnya dengan baik. Itu baru satu dari sekian banyak hal yang kuingat dari berkas-berkas memori tentangmu.
Si tukang pos memberimu surat yang berlumuran darah, istrimu menyuguhkan kopi sambil membalut luka si tukang pos yang berceceran di lantai ruang tamu rumahmu. Kemudian istrimu kembali ke kamar karena malas berurusan dengan tamu dan kau mulai membuka amplop yang membungkus suratku dengan perlahan. Kau tidak ingin membiarkan kertas di dalamnya rusak barang setitik pun. Itu kebiasaanmu yang lainnya, bukan?
Kemudian kau mulai membaca suratku yang punya cetak basah dimana-mana. Sebagian karena terkena tetesan bocor dari atap rumahku, sebagian karena tumpahan kopi yang tidak sempat ku minum, dan mungkin beberapa dari saluran air mataku yang rusak. Tinta pulpen dari tulisan itu bahkan sudah membias kemana-mana menjadikan suratku tampak mustahil untuk dibaca oleh seorang ahli filologi sekalipun. Kecuali olehmu. Kamu akan mencari berbagai cara untuk menemukanku didalam tulisan yang tidak berbentuk itu. Itu juga ciri khasmu yang kuingat.
Dirimu tiba-tiba tersekat setelah berhasil menemukan kata-kata di balik bilik tembok perasaanku. Kamu menemukan dirimu kembali kemasa lalu. Kini kamu berada denganku di masa lalu. Di masa yang jauh lebih sempurna walau hanya duduk di pelataran kampus dan menunggu hujan reda. Lalu kita berbicara macam-macam hal. Lalu kau mendengar celotehan dariku dengan telinga yang lebih tajam dan mata yang lebih dalam. Ketika akhirnya kau menemukan diriku menyatakan cinta dalam diam saat suara-suara hujan menghalangi gendang telingamu. Kini kau menyadari hal itu.
Lalu saat hujan mulai bergeser ke barat dan langit dengan cepat memanaskan suhu, kau menemukan wajah si tukang pos yang tampak lebih muda melambaikan tangan ke arahku. Kau tahu itu adalah saat dimana aku harus pulang, kembali ke kenyataan, kembali ke pelukan lelaki yang bukan kau. Kau melihat diriku berjalan ke arah si tukang pos yang langsung merangkulku dengan sesak. Kau melihat diriku yang tersenyum sumringah ke arahmu dan menyadari kalau senyum itu adalah perasaan sedih yang ku simpan karena tidak mampu memilihmu.
Lalu gempa waktu terjadi, dirimu mendapati sedang membaca suratku dan menyadari bahwa tukang pos yang ada dihadapanmu adalah… ah kau bahkan tidak mau membayangkannya. Si tukang pos melangkah keluar dari rumahmu entah dalam hatinya merasakan apa. Lalu kau masuk kedalam kamarmu dan menemui istrimu yang duduk di meja rias sambil menyisir rambutnya, mengenakan piyama yang seharusnya menggugah selera lelaki untuk segera mencumbunya namun dirimu entah mengapa merasa mual, bahkan lebih parah dari orang hamil.
“ Ada apa ? Kau sudah lapar ? “ istrimu bertanya sambil terus menyisir rambutnya yang rontok.
“ Belum, aku ingin berpisah “ kau mengucapkan perpisahan kepada istrimu dengan sangat lancar seperti orang hamil yang tiba-tiba mengeluarkan bayi saat buang air.
“ Oh… “
“ Maksudku, kita selesai sampai disini dan aku ingin lepas darimu”
Kau mengucapkan kalimat yang bahkan kau tidak peduli apakah istrimu setelahnya akan sakit hati atau malah ingin mati. Entahlah saat ini kau hanya mengatakan apa yang hatimu inginkan bukan mengatakan kalimat manis untuk menyenangkan hati orang lain seperti yang biasanya kau ucapkan. Lalu kau pergi keluar rumah, masuk ke hutan, dan mencari alamatku dalam amplop yang masih kau pegang. Sedangkan istrimu masih menyisir rambutnya dan bertanya-tanya apakah kau telah mengetahui perselingkuhannya dengan pria penjual bunga yang sering mengiriminya tanaman kaktus.
Lalu kau sampai di sebuah rumah kecil yang masih memasang kotak surat di sebelah gerbang kayu. Namun kau tidak heran karena itu impianku daridulu. Ketika kau masuk kedalam, kau melihat si tukang pos yang menangis dalam hening dan menatapku terbaring dengan ribuan kertas yang entah isinya apa. Kau menduga-duga kalau itu adalah surat-surat yang belum dikirimkan oleh suamiku karena itulah pekerjaanya. Kau terduduk dan mulai mendekat ke arahku.
Aku merasakan desahan nafasmu yang lembut mengelus pipiku. Aku ingin sekali melihatmu tapi yang kulihat hanya gelap yang tidak ada habisnya. Aku ingin berbicara denganmu tentang macam-macam hal dan  tentang hal-hal yang belum sempat kutulis dalam kertas-kertasku atau tentang rencanaku untuk lari dari suamiku dan mengetuk rumahmu lalu tiba-tiba memelukmu.
“ Kenapa diam saja ? “ lalu tiba-tiba suara itu terdengar pilu berada dekat sekali dengan telingaku. Tidak. Aku tidak diam saja. Aku mencintaimu sungguh. Aku berteriak tapi mulutku tetap tertutup, aku tidak tahu siapa yang menguncinya.
“ Biasanya kau akan banyak bercerita denganku ” kini setetes air membasahi pipiku. Apa kau menangis? Kumohon jangan menangis. Aku tidak dapat mengusapnya. Tanganku seperti kesemutan dan tidak dapat bergerak sekarang.
“ Mengapa kau tidak mengatakannya dari dulu ? “ Aku selalu mengatakannya, di dalam hati. Aku takut suaraku tidak didengar olehmu. Atau aku takut menghadapi kenyataan kalau kau tidak merasakan hal yang sama.
“ Kau selalu berani mencoba banyak hal tapi takut di satu kesalahan yang sama ”
“ Aku mencintaimu “ lalu kalimat itu tiba-tiba membuatku lega. Menghempaskanku dalam awan-awan yang lembut seperti kapas. Gelap yang kutatap menjadi putih yang menghangatkan dan sesak didadaku seperti hilang ditelan suaramu. Kini sudah saatnya aku harus kembali dalam kenyataan.
Sambil menangis, dirimu memungut surat-surat yang tergeletak mengelilingiku. Kau menyadari surat-surat itu adalah kertas yang ku pakai untuk menuliskan rasaku yang tidak pernah ku kirim untukmu tiap harinya. Dan kau membawanya pulang kerumah setelah ku menghilang.
Dari kejauhan, aku dapat melihatmu membaca surat-suratku di ruang tamu sambil menceritakan kisah kita yang selesai bahkan saat belum sempat dimulai pada anak-anak kita yang belum sempat lahir.


Anisa Yulicahyanti 
Jakarta, 21 Februari 2018  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar